Jumat, 15 Oktober 2010

Ada Apa Lagi dari Mayora?

Thursday, June 26th, 2003
oleh : admin

“Satu Lagi dari Mayora”. Ya, jargon ini pernah sangat fasih dilafalkan anak-anak Indonesia yang memang suka biskuit dan permen. Produk-produk Mayora yang keluar secara beruntun pernah menjadi pembelanja iklan terbesar bagi TV swasta. Namun, entah mengapa, Mayora tiba-tiba menghilang seiring krisis yang mulai mengguncang.

Publik kemudian menyimpulkan bahwa masa keemasan Mayora telah berakhir ketika muncul berita PT Mayora Indah tersangkut transaksi derivatif dengan Bankers Trust Internasional (SWA edisi 05/2000) yang berbuntut ke meja hijau. Beruntung kasus ini dimenangkan Mayora pada Oktober 2002.

Pada saat yang sama, Mayora juga diguncang tuntutan kenaikan gaji karyawan. Manajemen Mayora menolak tuntutan karyawan ini. Akan tetapi, bagusnya, tak ada PHK bagi mereka yang berdemo. Kabarnya, ada pihak lain yang mengompori demo karyawan ini.

Seperti dialami perusahaan lain, krisis membuat neraca keuangan perusahaan ini termehek-mehek. September 1999, Mayora merugi Rp 27,47 miliar. Angka penjualan sepanjang 9 bulan pertama tahun itu Rp 370,91 milliar atau hanya tumbuh 7% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai Rp 344,84 milliar. Belum lagi dampak dari belitan beban usaha dan bunga utang. Yang patut diacungi jempol, kondisi ini tak mampu memaksa manajemen Mayora melakukan satu pun PHK terhadap karyawannya.

Kondisi tersulit Mayora adalah ketika para pesaingnya yang juga pemain kuat dunia, Danone dan Nabisco, tampil agresif di pentas bisnis nasional. Dalam waktu relatif singkat, produk-produk kedua perusahaan raksasa ini menohok produk Mayora, juga produsen biskuit lokal lainnya. Repotnya, sodokan pemain lokal yang juga gencar menghadirkan produk baru dan inovatif terus saja mengganggu pasar Mayora. Permen Kopiko, produk andalan Mayora, terpukul hebat oleh permen Kino yang jorjoran beriklan dengan tagline-nya yang mengena, “Begitu Ada Kino, Yang Lain Jadi Kuno”.

Apa kata Mayora? Hermawan Lesmana, Direktur Keuangan Mayora, membantah anggapan bahwa bintang perusahaan yang ikut didirikannya itu telah meredup. Katanya, Mayora tak mengurangi biaya promosi di tengah krisis sekalipun. Periode 2000-2, besaran angka promosi bahkan terus diperbesar. Sepanjang 2000, Mayora menghabiskan Rp 49 miliar untuk promosi dan naik lagi menjadi Rp 52 miliar tahun berikutnya. Pada 2002, angka itu mencapai Rp 75 miliar. Hasilnya, penjualan Mayora sebesar Rp 998 miliar pada 2002 atau naik 19,2% dibanding tahun sebelumnya, Rp 833 miliar. Tahun ini, Mayora menargetkan penjualan Rp 1-1,2 triliun. Laba bersih tahun 2001 sebesar Rp 31,14 milliar dan naik hampir 400% pada 2002 yang mencapai Rp 119,49 milliar.

Prestasi ini adalah buah dari berbagai kebijakan baru. Salah satunya, perubahan strategi beriklan. Saat krisis tempo hari, iklan-iklan Mayora tampak berbeda dibanding sebelumnya. Iklan-iklan sebelumnya lebih menonjolkan citra korporat, sedangkan saat itu Mayora memilih menonjolkan merek-merek produk. Perusahaan makanan ringan ini tampaknya sadar bahwa tak semua produk Mayora dikenal masyarakat. Beng Beng, Choki-Choki dan Kopiko memang dikenal sebagai produk Mayora. Namun, Mayora hampir-hampir tak dikenali pada produknya yang lain seperti Wafer Sando, Suklat, Energen Sereal, permen Tamarin dan Kalsio meskipun gencar diiklankan.

Perubahan strategi iklan ini juga menjadi salah satu bentuk penghematan: mengurangi durasi iklan dengan memotong narasi jargon andalannya, “Satu Lagi dari Mayora”. Penghilangan bagian ini sebenarnya bisa menjadi masalah jika ternyata tujuan menonjolkan merek-merek produk justru tidak kesampaian. Akan tetapi, kata Hermawan, slogan korporat Mayora telah menancap dengan sempurna di benak masyarakat.

Mayora juga siap merestrukturisasi utang obligasi rupiah (Obligasi Mayora Indah I) senilai Rp 300 miliar yang akan jatuh tempo pada 2004. “Kami sudah siapkan dananya,” ujar Hermawan. Obligasi rupiah yang dikeluarkan perseroan sejak 1997 tersebut tercatat di PT Bursa Efek Surabaya dengan jangka 5-7 tahun. Perseroan juga sebelumnya berhasil merestrukturisasi utang Medium Term Notes (MTN) senilai US$ 29,9 juta kepada kreditor lokal dan asing melalui mediasi Prakarsa Jakarta. MTN yang sedianya jatuh tempo pada 1999 berhasil dijadwal ulang hingga 2004. “Kami berharap hingga 2004 semua utang valas tersebut sudah bisa terbayar. Tapi jika gagal, akan ditempuh cara refinancing,” jelasnya.

Dan masih banyak strategi lainnya. Inovasi produk, model pemasaran yang kreatif dan efektif, permodalan yang kuat. Soal yang terakhir ini sedikit melegakan, sebab nilai tukar rupiah terus membaik. Nilai dolar AS sangat esensial bagi Mayora, karena bahan baku dan kemasan produknya masih banyak yang harus diimpor. Tahun ini juga Mayora akan menambah lini produksi pabrik di Tangerang dan memperluas bangunan pabriknya yang sudah ada. Sumber dananya? Sejumlah media beberapa pekan lalu mengutip pernyataan Hermawan yang menyebutkan pihaknya akan menerbitkan obligasi sebesar Rp 200 miliar.

Nah, per 2001, strategi beriklan dengan menonjolkan citra korporat kembali dilancarkan. Yang berbeda, dulu Mayora memercayakan sepenuhnya kepada agensi tunggal, Hotline Advertising, sedangkan kini, membaginya kepada empat perusahaan periklanan. Ada yang ditunjuk hanya menangani kreatifnya sedangkan agensi lainnya semata mengurusi penempatan iklan-iklan tersebut ke media massa yang sesuai dengan visi dan misi yang sedang dan akan dibangun. Kegiatan below the line juga digalakkan, seperti ikut serta dalam berbagai bazar dan promosi hingga ke sekolah-sekolah.

Dalam waktu dekat, Mayora kembali akan meluncurkan produk baru. Ini tampaknya jawaban atas keraguan orang bahwa Mayora telah kehilangan taringnya dalam hal inovasi produk yang pernah sangat dibanggakan. Beberapa tahun silam, Mayora dikenal sebagai pelari cepat dengan berbagai produknya yang hadir secara beruntun. PT Kakao Mas Gemilang, anak perusahaan Mayora, meluncurkan Energen Sereal yang segera disusul Suklat plus beberapa produk permen seperti Tamarin, Plonk, Kis dan Kalsio (diposisikan sebagai permen Kalsium) serta wafer Sando. “Kami juga akan me-relaunch beberapa produk seperti Malkish Prima,” ungkap Hermawan.

Hebatnya, pamor produk Mayora yang diluncurkan beberapa tahun lalu tetap saja bersinar. Di Hero Mal Kalibata, misalnya, penjualan Kopiko, Beng-Beng dan Danisa tak pernah surut bertahun-tahun lamanya. Periode Mei 2003 misalnya, Kopiko dengan harga Rp 4.375, berhasil terjual 50 kantong (satu kantong isi 80 pieces). Bandingkan dengan Yesco (PT Pasta Buana), pesaing Kopiko, yang hanya mencapai 20 kantong. Januari awal tahun ini, Beng-Beng terjual 2.400 pieces dan naik lagi menjadi 2.500 pieces sebulan kemudian, sebelum menjadi 2.800 pieces pada Mei lalu. Sementara pesaing terkuatnya, Tops, hanya mampu mencetak 800 pieces dengan harga jual sedikit lebih murah dibanding Beng-Beng. Namun, kinerja Danisa Butter Cookies sedikit lambat. Di kategori ini, Danisa harus bersaing ketat dengan pemain lama yang terbilang kuat, Monde produk PT Jadi Abadi Corak Biscuit.

Selain terus mengembangkan produk dan merestrukturisasi utang, perusahaan ini pun masih mengekspor. Chief Consultant Officer Direxion Consulting, Jahja B. Soenarjo, mengatakan bahwa Mayora memang tampak slowdown, “Tapi bukan tiarap.” Buktinya, ekspornya masih terbilang bagus yang nilainya mencapai sama dengan 15% biaya produksi. Beberapa produknya pun lumayan bagus, seperti produk mi instan Miduo, biskuit Roma yang legendaris, serta permen Kopiko yang terus menjadi idola.

Jahja menilai, boleh jadi Mayora sedang melakukan reorientasi. Akan tetapi, ada informasi bagus yang didapatkan Jahja bahwa salah satu kesulitan utama Mayora saat ini adalah minimnya manajer profesional berkualitas yang dapat menjadi agen perubahan dalam organisasi perusahaan agar lebih responsif dan adaptif. Setidaknya, kehadiran profesional ini bisa mengangkat produk yang keok di pasar. Beruntung, Mayora masih oke di kategori biskuit dan permen. Contohnya, Beng-Beng, biskuit Roma dan biskuit sandwich Better-nya.

Mayora juga memiliki produk-produk low-end yang tidak perlu gencar diiklankan, termasuk Miduo yang kinerja penjualannya lumayan bagus. “Perusahaan ini sangat kompetitif dan tuntutan speed of innovation-nya tinggi. Dalam hitungan bulan saja muncul banyak produk plus merek baru (horisontal) serta varian baru (vertikal),” puji Jahja.

Namun, bukan jaminan bahwa Mayora yang diposisikan dalam 10 besar produsen biskuit ternama di Republik ini bisa bertahan dengan gagah jika inovasi tersebut tidak disuntik energi lebih besar lagi. Pasalnya, pesaing mereka terlihat sangat gencar, baik lokal maupun multinasional. Dari pemain lokal, Mayora harus terus mengintip sepak terjang Khong Guan, Nissin, Hollanda, Siantar Top atau AIM. Adapun dari para raksasa dunia, Nabisco, Arnott dan Danone siap melumat habis saat lengah sedikit saja.

Namun, kelebihan Mayora dibanding pesaingnya, khususnya dari pasar pemain lokal, adalah bermain di tiga kategori sekaligus, yakni biskuit, permen dan makanan. Satu lagi, keandalan jaringan distribusi yang ditangani anak perusahaan sendiri, yakni PT Inbisco, yang memiliki jejaring distribusi di 309 titik cabang dan keagenan yang tersebar di seluruh Indonesia.

1 komentar:

  1. sebenar nya kasus mayora indah dengan bankers trust apa sih?? tolong di beritahu ya..
    atau ada link nya tidak??

    BalasHapus